Rabu, 14 September 2011

11 di serian sarawak - Google Blog Search

11 di serian sarawak - Google Blog Search


Jejak Jawa dan Tentara <b>di</b> Bibir Malaysia | VHRmedia.com

Posted: 14 Sep 2011 01:54 AM PDT

Perbatasan menghadirkan beragam masalah. Pelintas batas, TKI pelarian dari Malaysia, perdagangan, bahkan penyelundupan.

Ada yang unik di Desa Jasa, Ketungau Hulu, Sintang, Kalimantan Barat. Desa ini berbatasan langsung dengan Malaysia. Sebagian besar warganya Dayak Kumpang dan campuran Iban. Namun, 50 persen warga memakai nama Jawa. Terutama yang lahir pada pertengahan tahun 1960 - 1970-an. Warga memberi nama anak sesuai nama komandan atau tentara yang mereka kenal selama bertugas di sana.

Desa Jasa dulu basis penyerangan tentara Indonesia menuju Malaysia, ketika terjadi peristiwa Dwikora atau perang antara Indonesia dan Malaysia, tahun 1963. Juga saat terjadi pembersihan terhadap para mantan anggota Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku), akhir 1967.  

"Saat terjadi konfrontasi, warga harus beronda dan antar logistik," kata Subandi (43), warga Jasa. Subandi nama pemberian tentara yang pernah bertugas di Desa Jasa.

Menurut Subandi, walaupun RI sudah merdeka, warga belum sepenuhnya merdeka. Dalam bidang pendidikan, ada sekolah tapi tak ada guru. Dalam bidang kesehatan, warga jika sakit harus berobat ke Malaysia. Padahal, ketika berobat butuh surat-surat pengantar, sedangkan di Desa Jasa tak ada kantor imigrasi. "Itu sudah menyalahi prosedur dan izin," katanya.

Pernah cucu Subandi harus berobat ke Malaysia. Si ibu menggendong anak melintasi hutan selama dua jam setengah dengan berjalan kaki. Selanjutnya, menuju rumah sakit terdekat di Serian, Sarawak, Malaysia.

Di Desa Jasa terdapat sekitar 252 keluarga dengan sekitar 2.000 jiwa. "Sebagian besar kebutuhan warga Jasa dibawa dari Malaysia," kataSekretaris Desa Edi Jito (35).

Kebutuhan warga yang didatangkan dari Malaysia seperti telur, ikan teri, sarden, makanan kaleng, gula, serta bawang merah dan putih. Warga jarang membawa beras dari Malaysia, karena kualitasnya kurang baik.  

Cara membawa barang dengan mengupah pemikul. Butuh waktu berjalan 2,5 jam dari Desa Jasa menuju pasar dalam kondisi tak membawa barang. Jika membawa barang butuh waktu sekitar 3,5 jam. Lewat hutan dan jalan setapak. Biasanya berangkat pukul 7 pagi dan balik lagi ke Jasa sekitar pukul 6 petang.

Pemikul membawa uang kebutuhan belanja barang. Sesampai di pasar, penjual dari Malaysia membuat nota pembelian yang dibutuhkan. Sekarang ini susah mencari tukang pikul, karena banyak yang memilih menoreh di Malaysia.

Upah pikul tergantung banyaknya barang. Orang membawa barang sekitar 30 - 40 kilogram. Kadang ada yang hingga 60 kilogram. Gas mulai dari kosong ongkos pikul RM 40. Untuk mengisi gas RM 20. Ongkos pikul barang Rp 2.500 per kilogram. Ongkos pikul telur Rp 6.000 per sarah. Setiap sarah 30 butir. Ongkos pikul telur mahal karena butuh banyak tempat. Barang lain bisa diikat, telur tidak bisa diikat. Sekali bawa telur sekitar 15 sarah.

Jika belanja lima sarah telur, biaya angkut tak lebih dari RM 10. Kalau biaya angkutnya lebih, akan susah menjualnya. Jika biaya angkut per kilogram lebih dari Rp 2.500 akan merugi. Harga telur per sarah di Malaysia RM 9,5 atau sekitar Rp 29 ribu. Ditambah ongkos Rp 6.000 per sarah. Telur di Desa Jasa biasanya dijual Rp 1.500 per butir.

Harga bensin dari Malaysia Rp 8.500 per liter di Jasa, sudah termasuk ongkos angkut. Tapi, bensin biasanya dibawa dari Sintang. Sekali bawa tiga drum. Satu drum berisi 210 liter. Ongkos angkut Rp 250 ribu per drum. Harga jualnya Rp 9.000 per liter. Namun, bensin rata-rata dijual Rp 10 ribu.

Warga di Desa Jasa biasa bekerja di Malaysia sebagai penoreh karet. Kerja menoreh sistem bagi hasil. Dua bagian bagi penoreh, satu bagian untuk pemilik kebun. Ada pula satu banding satu. Ada juga sistem sewa lahan. Misalnya, sebulan sewa RM 500. Satu kapling ada 400 pohon. Sehari bisa dapat 40 kilogram. Harga satu kilogram RM 10. Kualitas karet kepingan, satu keping 20 - 30 kilogram karet kering. Kalau tipis RM 13. Karet kering harga makin bagus. Jika tebal bagian dalam tak begitu kering, sehingga harga lebih murah. Sistem sewa dalam sebulan bisa mencapai RM 5.000. Angka itu sudah termasuk makan dan minum.

"Kerja itu biasanya pulang balik ke Indonesia, tiga bulan paling lama," kata Gimin (29). Ia sudah setahun kerja sebagai penoreh karet di Malaysia.

Anak-anak di Jasa jika libur sekolah ke Malaysia. Mereka ikut menoreh, karena kerja itu menjanjikan. Mereka ikut orang tua, abang, dan kerabatnya. "Ibarat cari uang HP," kata Gimin. Uang hasil menoreh untuk membeli telepon genggam. Karena tak diberi uang, mereka mencari sendiri. Mereka biasanya menoreh di Seriaman.

Ada pedagang yang setiap hari datang dan menampung hasil karet. Sistemnya langsung bayar. Warga Jasa terkadang kerja di kebun milik polisi Malaysia. Jika ada razia, mereka "kerja sama" dengan polisi Malaysia. Para pemilik kebun melindungi para pekerja dengan menyembunyikan di kebun atau minta pekerja pulang dulu ke Indonesia.

Polisi jika akan melakukan razia harus izin dulu ke kepala dusun. Para pekerja dan kontraktor kebun karet itu pun disuruh pulang dulu atau disembunyikan. "Kalau tak dikerjakan orang Indonesia, kebun tak ada yang kerjakan. Mereka kan malas," kata Gimin.

Para pelintas batas tak hanya warga asli Desa Jasa. Para pekerja yang melarikan diri dari Malaysia, kerap muncul di desa sekitar perbatasan. Seperti di Desa Jasa. Pada 2002, ada tujuh TKI melarikan diri dari Malaysia. Tahun 2006 ada 13 orang. Tahun 2009 ada dua orang. Tahun 2010 ada 15 orang. Alasan lari karena ditipu, gaji tak dibayarkan, atau jadi korban perdagangan manusia atau human trafficking.

Rata-rata yang "bermasalah" dari luar Kalimantan Barat. Biasanya dari Nusa Tengara Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa, dan Kabupaten Sambas. Ketika mereka singgah, warga memberi sekadar makanan dan mi instan. Bahkan, di Dusun Wak Sepan, Desa Jasa, pada tahun 2010, mereka sempat menginap sehari.

Desa Nanga Bayan juga kerap menjadi tempat pemulangan TKI dari Malaysia. Sebenarnya TKI yang masuk biasanya resmi. Cuma, paspor mereka dipegang oleh bos. Mereka hanya diberi fotokopi paspor. Ruang gerak pekerja dibatasi.

Ada yang melarikan diri menuju hutan beberapa hari, sampai akhirnya menembus kampung. Ada yang dibawa masyarakat. Tahun 2010 ada sekitar 100 orang tiba di Nanga Bayan. Setiap bulan selalu ada TKI pelarian. Biasanya tidak sekaligus.

Widianto pernah menampung tujuh TKI yang lari dari Malaysia. "Kasihan juga. Makanya kita bantu apa adanya," katanya.

Masalahnya bervariasi. Ada yang kerja di perkebunan sawit tapi tak tahan. Yang paling banyak terjadi, sudah beberapa tahun kerja tapi gaji tak dibayarkan. Sejak 2011 cuma ada dua hingga tiga orang.

Sekarang ini TKI tak hanya datang melalui Nanga Bayan, juga Desa Semare, Sungai Kelik. Sebagian besar yang melarikan diri secara bergerombol datang dari satu daerah. Yang sering menolong adalah TNI. Kalau sudah begitu, mereka disuruh apa pun mau. Yang penting bisa makan.

Kalau dari desa, pengungsi biasanya dibawa ke kecamatan. Untuk ke Pontianak, minimal butuh uang sekitar Rp 500 ribu. Mereka biasanya mencari sendiri dengan bekerja serabutan. Di Nanga Bayan ada TKI yang pernah diusir, kemudian kawin dan menetap hingga sekarang. (E4)

Foto-foto: VHRmedia / Muhlis Suhaeri

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

ads